Kamis, 04 Juni 2015

Materi Perkuliahan Stilistika Pertemuan 3


STILISTIKA, RETORIKA, DAN SEMIOTIKA

A.  Materi
1.      Hubungan Stilistika dengan Retorika
2.      Hubungan Stilistika dengan Semiotika

1.        Hubungan Stilistika dan Retorika
a.        Hakikat Retorika
Stilistika dan retorika merupakan dua ilmu yang saling berhubungan, berjalan bersama-sama, kadang-kadang berhimpitan. Hal tersebut terjadi karena kedua ilmu menyangkut kajian yang sama, yaitu mempersoalkan kehebatan atau keandalan menggunakan bahasa yang bergaya, yang menarik dan memikat.
Retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penataan, dan penampilan tutur untuk membina saling mengerti dan kerja sama serta kedamainan dalam kehidupan bermasyarakat (Oka, 1976). Ahli lain, Keraf (1986) menyebutkan batasan retorika sebagai cara pemakaian bahasa sebagai seni baik lisan maupun tertulis yang didasarkan pada suatu pengetahuan atau suatu metode yang teratur atau tersusun baik. Kedua rumusan tersebut mempunyai maksud yang sama yaitu, retorika merupakan ilmu pemakaian bahasa yang sistematis dan efektif yang memiliki seni.
Di dalam kehidupan berbahasa khususnya retorika modren, memang lebih ditekankan pada kemampuan berbahasa tulis yang efektif dan efisien. Keefektifan diarahkan pada pencapaian sasaran yang tepat dan pemahaman utuh. Sedaangkan keefesian dimaksudkan adalah bahasa yang digunakan adalah bahasa yang tertata rapi tanpa mengumbar kata yang banyak.
Untuk memperoleh kemampuan berbahasa yang efektif dan efesien harus menempuh berbagai cara, antara lain sebagai berikut:
1)      Penguasaan secara efektif sejumlah besar kosa kata agar mampu memilih kata yang paling tepat dan sesuai untuk mewadahi gagasan.
2)      Penguasaan kaidah kebahasaan (gramatika) sehingga memberi peluang yang bersangkutan memilih berbagai variasi bentuk pengungkapan dengan nuansa dan konotasi yang berbeda.
3)      Mengenal dan menguasai berbagai macam ragam dan gaya bahasa, serta mampu menciptakan gaya yang baru dan lebih hidup.
4)      Mengenal aturan teknis penyusunan berbagai jenis wacana karena setiap wacana memiliki persyaratan khusus yang dalam pengembangannya.
5)      Memiliki kemampuan bernalar yang benar sehingga gagasan dapat dikelola secara sistematis dan sekaligus mencegah terjadinya konsep salah nalar dalam berkomunikasi.
Unsur-unsur yang mendukung terjadinya efek komunikasi yang kuat menurut Ignas Kleden (1983), antara lain sebagai berikut:
1)      Penting atau berbobotnya pesan yang dikandungnya.
2)      Adanya kecerdasan dan kecendeian.
3)      Adanya elokuensia (eloquence).

b.   Persamaan dan Perbedaan Stilistika dan Retorika
Stilistika dan retorika merupakan dua ilmu yang memiliki beberapa persamaan, yaitu sebagai berikut:
1)   Sama-sama menggunakan topik bahasan pokok yang sama, yaitu kemampuan berkomunikasi verbal, baik dalam bentuk lisan dan tulisan.
2)   Sama-sama menganut pandangan bahwa komunikasi yang baik dapat dicapai dengan persiapan atau perencanaan yang baik dapat dicapai dengan persiapan atau perencanaan yang baik dan dengan menggunakan teknik atau tata krama penyajian yang baik pula.
3)   Sama-sama menganggap bahwa pencapaian hasil atau tujuan komunikasi yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor kemampuan penutur, faktor kualitas topik atau gagasan, faktor sistem penyajian gagasan dengan menggunakan bahasa yang bergaya dan bernilai estetik, dan faktor kemampuan penanggapan atau penikmatan oleh pembaca atau pendengar.
Beberapa perbedaan antara komunikasi sastra (stilistika) dengan komunikasi nonsastra (retorika) adalah sebagai berikut:
1)   Stilistika bersifat subjektif sedangkan retorika bersifat objektif.
2)   Stilistika bersifat ekpresif sedangkan retorika bersifat impresif.
3)   Stilistika sasarannya perasaan sedangkan retorika sasarannya adalah pikiran.
4)   Stilistika merupakan komunikasi yang memancing keindahan, sedangkan retorika merupakan komunikasi yang memancing kekuatan.
5)   Stilistika berkecendrungan memunculkan keragaman makna sedangkan retorika memunculkan kesatuan makna.

2.        Hubungan stilistika dengan Semiotika
Untuk melihat hubungan antara stilistika dengan semiotika, perlu ditinjau kembali apa itu stilistika dan apa itu semiotika. Stilistika merupakan sebuah ilmu yang mengkaji tentang penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra. Stilistika mengkaji efek-efek khusus yang disebabkan kepiawaian pengarang menggunakan bahasa dalam karya sastra sehingga terdapat keindahan dalam karya tersebut.
Istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti tanda atau sign. Tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, dapat menggantikan suatu yang lain yang dapat dipikirkan (broadben 1980). Dengan kata lain Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda atau teori tentang pemberian tanda.
A Teew (1984:6) mendefinisikan Semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggung jawabkan semua faktor untuk pemahaman gejala sastra. Pada mulanya, istilah semiotik digunakan oleh orang Yunani untuk merujuk pada sains yang mengkaji sistem perlambangan atau sistem tanda dalam kehidupan manusia. Dari akar kata inilah terbentuk istilah semiotik yaitu kajian sastra yang saintifk yang meneliti sistem perlambangan yang berhbung dengan tanggapan dalam karya. Bukan saja merangkumi bahasa,tetapi juga lukisan,ukiran,potografi,atau yang bersifat visual.
Kajian semiotika adalah mengkaji dan mencari tanda-tanda dalam wacana serta menerangkan maksud dari tanda-tanda tersbut dan mecari hubungannya dengan ciri-ciri tanda-tanda itu untuk mendapatkan makna siknifikasinya. Semiotik adalah ilmu sastra yang memahami satra yang mengalami tanda-tanda/perlambangan yang di temui dalam teks. Bahasa sebagai sistem tanda,sering kali mengandung sesuatu yang terkadang apa yang dilihat tidak sesuai dengan realita. Apalagi dalam karya satra, banyak sekali di temukan bahasa-bahasa pengarang yang mengandung makna yang ambigu, sehingga menimbulkan interprestasi yang berbeda di setiap pembaca.
Tanda ada 3, yaitu sebagai berikut.
1)   Ikon (Ikonig Sign), yaitu segala sesuatu yang dikaitkan dengan sesuatu yang lain karena ada kemiripan/persamaan. Antara penanda dan petanda ada kemiripan. Menunjukkan sesuatu bukan pada kemiripan tetapi menekankan pada keterkaitan logisnya. Contoh, foto langsung menunjukkan sesuatu objek yang dimaksud.
2)   Indeks (index), yaitu suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya. Contoh, asap menunjukan adanya api.
3)   Simbol, yaitu menekankan kepada kesepakatan masyarakat tentang penanda dan petanda bersifat abitrer. Contoh : Bendera hitam di Sumatera Barat (berduka), Bendera kuning di Jakarta (berduka). Contoh tersebut karena ada kesepakatan antara masyarakat setempat.
Berdasarkan penjabaran defenisi diatas, dapat dilihat kedekatan hubungan stilistika dengan retorika yaitu sama-sama mengkaji bahasa dalam karya sastra, namun subkajiannya yang berbeda yaitu stilistika mengkaji gaya bahasa, sedangkan semiotik mengkaji tanda-tanda / perlambangan dalam karya sastra.
Persamaan stilistika dan semiotika terdapat pada bidangnya yaitu sama-sama mengkaji sastra, stilistika mengkaji gaya bahasa dalam sastra sedangkan semiotika mengkaji tanda (penanda dan petanda) dalam karya sastra. Selain itu, stilistika dan semiotika sama-sama menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
            Perbedaan stilistika dengan semiotika secara garis besar dapat dikatakan terletak pada kajiannya, stilistika mengkaji bahasa yang digunakan pengarang dalam mencapai efek keindahan, sedangkan semiotika mengkaji bahasa dalam karya sastra berdasarkan tanda-tanda/perlambangan.

B.  Daftar Rujukan

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Atmazaki. 2005. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Citra Budaya Indonesia.
Junus, Umar. 1989. Stilistik: Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Keraf, Gorys. 2005. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.
Semi, M. Atar. 2008. Stilistika Sastra. Padang: UNP Press.
Sudjiman Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistik. Jakarta: Grafiti.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Materi Perkuliahan Stilistika Pertemuan 2


STILISTIKA, SASTRA, DAN ESTETIKA

A.  Materi
1.      Hubungan Stilistika dengan Sastra
2.      Hubungan Stilistika dengan Estetika
3.      Hakikat Estetika

1.    Hubungan Stilistika dengan Sastra
            Sastra merupakan bidang kajian yang begitu banyak mengandung bidang pandang. Bagi setengah orang sastra itu dinilai sebagai kreasi seni yang mengandung nilai-nilai luhur, nilai moral, yang berguna untuk mendidik umat. Sastra merupakan karya seni kreatif yang berupa media yang memiliki dua fungsi pokok yaitu, pertama, menyampaikan ide, teori, emosi, sistem berpikir, dan pengalaman keindahan manusia. Kedua, menampung ide, teori, emosi, sistem berpikir, dan pengalaman keindahan manusia. Untuk menjalankan kedua fungsi itu sebuag karya sastra hendaknya tidak hanya terbebani oleh isi yang bermutu tetapi juga memiliki gaya penyampaian yang indah, menarik, dan memikat.
            Sastra mengandung sifat khas yang memiliki kualitas atau nilai yang istimewa. Selain itu, sastra juga memiliki sistem penyajian yang berupa bahasa. Sastra juga memiliki komunikasi yang khas sehingga gaya penulisan yang dipilih sastrawan sangat beragam. Pengarang memiliki kebebasan dalam memilih gaya penyampaian gagasan atau ide tanpa perlu mempertimbangkan siapa penanggap atau siapa yang membaca karyanya.
            Menurut Luxemburg (dalam Semi, 2008:3) terdapat lima aspek karya sastra, yaitu sebagai berikut. Pertama, sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi. Kreasi di sini adalah kreasi seniman atau sastrawan yang menciptakan kehidupan baru di bumi ini yang disajikan dalam karyanya. Kedua, sastra bersifat otonom, artinya sebuah karya sastra adalah sebuah “individu” yang mandiri yang memiliki sistem sendiri, yang tidak mengacu pada yang lain. Ketiga, karya sastra memiliki koherensi, artinya sebuah karya sastra memiliki hubungan erat dan selaras antara bentuk dan isi, dan di antara unsur-unsur lain yang berada di dalamnya. Keempat, sastra menghidupkan sebuah sintesis, yaitu sintesis antara hal-hal yang paling bertentangan, seperti antara roh dan benda. Kelima, sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan, hal ini terjadi karena sastra merupakan hasil kreasi sastrawan yang memiliki kemampuan yang hebat dalam berpikir, berimajinasi sehingga mereka dapat melihat nilai-nilai kehidupan yang bagi orang lain tidak terlihat.
            Kebebasan pengarang dalam menuangkan ide atau gagasan ke dalam bentuk karya sastra tidak bisa dianalisis atau ditelaah hanya menggunakan ilmu biasa, tetapi harus ditelaah dengan ilmu khusus yaitu stilistika. Karena stilistika merupakan ilmu yang mengkaji gaya bahasa yang terdapat dalam suatu karya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa stilistika merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sastra. Bahkan ada yang mengungkapkan bahwa sastra itu adalah stilistika, dan stilistika itu adalah sastra.

2.    Hubungan Stilistika dengan Estetika
            Pada hakikatnya, stilistika atau style merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan disampaikan atau diungkapkan. Stilistika sangat erat kaitannya dengan estetika. Di dalam stilistika terdapat nilai estetik. Estetika merupakan ilmu yang mempelajari tentang keindahan dari suatu objek yang indah. Nilai estetik mempunyai arti nilai dari suatu keindahan yang kita rasakan setelah kita menemukan makna kita dapat menilai seberapa indah objek tersebut. Jadi, di dalam stilistika terdapat estetika.
            Stilistika mengkaji berbagai fenomena kebahasaan dengan menjelaskan berbagai keunikan dan kekhasan pemakaian bahasa adalam karya sastra berdasarkan maksud pengarang dan kesan pembaca. Estetika sendiri merupakan aspek yang berhubungan dengan keindahan. Estetika mempelajari aspek yang memberi keindahan pada sebuah karya seni, termasuk karya sastra.
            Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Dengan demikian, stilistika dan estetika mempunyai kesatupaduan dimana stilistika itu adalah gaya. Gaya selalu dihubungkan dengan pemakaian bahasa dalam karya sastra. Karya sastra tersebut merupakan keindahan. Dari keindahan tersebut estetika berperan sebagai ilmu yang membahas keindahan, bagaimana karya sastra itu terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.

3.        Hakikat Estetika

a. Pengertian Estetika
Estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu aisthetike. Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlibe Baumgarten pada tahun 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang dirasakan lewat perasaan. Kajian estetika akan mengungkapkan keindahan karya sastra. Keindahan adalah ciptaan pengarang dengan seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang optimal. Keindahan adalah sebuah aplikasi dari interasa dan inscape. Interasa adalah pengaruh yang nyata dari tangan Tuhan terhadap cipta kreatif terhadap seorang sastrawan sedangkan inscape adalah pemahaman atau kekuatan melihat sesuau dengan pikiran dan hati sebagai suatu pundak realitas dalam sastra berdasarkan kebenaran Tuhan.

b.   Kriteria Estetika
Menurut Broginsky (Teeuw, 1988: 354) ada tiga aspek keindahan. 1) dari aspek otologisnya, adanya keindahan puisi sebagai pembayanga kekayaan Tuhan, 2) dari aspek iman, dari yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib, tamasya, dll, 3) dari aspek psikologis yaitu efek kepada pembaca menjadi heran, birahi, suka, lupa, dan sebagainya. Keindahan karya sastra umumnya terbatas pada wilayah itu sendiri.
Menurut Parker dalam Mikke Susanto (2003:29) menjelaskan tentang ciri-ciri umum dari bentuk estetika menjadi enam asas, antara lain:
1)      Asas kesatuan organis, yang berarti setiap unsur dalam sesuatu karya seni adalah perlu bagi nilai karya itu. Setiap unsur dalam suatu karya sastra memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.
2)      Asas tema
Dalam karya sastra memiliki kunci agar orang-orang mampu memahami karya tersebut yang dinamakan dengan tema.
3)      Asas variasi menurut tema
Pengungkapan tema dalam karya sastra harus bervariasi untuk menghindari kebosanan penikmat sastra.
4)      Asas keseimbangan, maksudnya dalam suatu karya sastra setiap unsur harus seimbang. Unsur-unsur yang bertentangan maupun yang sama harus hadir secara seimbang.
5)      Asas perkembangan, maksudnya suatu karya memiliki perkembangan dari bagian awal yang secara bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Asas ini disebut juga hubungan plausibilitas atau hubungan sebab akibat.
6)      Asas Tata jenjang
Dalam karya seni yang rumit, kadang-kadang terdapat unsur yang memegang kedudukan memimpin yang penting. Unsur ini mendukung secara tegas tema yang bersangkutan dan mempunyai kepentingan yang jauh lebih besar dari unsur lainnya.

B.  Daftar Rujukan

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Atmazaki. 2005. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Citra Budaya Indonesia.
Junus, Umar. 1989. Stilistik: Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, M. Atar. 2008. Stilistika Sastra. Padang: UNP Press.
Sudjiman Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistik. Jakarta: Grafiti.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.


Materi Perkuliahan Stilistika Pertemuan 1

HAKIKAT STILISTIKA

A. Materi
1.      Pengertian stilistika
2.      Sejarah stilistika
3.      Objek Kajian stilistika

1.    Pengertian Stilistika
Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Jadi, stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa. Gaya memang selalu dihubungkan dengan pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra. Ini merupakan hakikat stilistika. Ini menyebabkan stilistika merupakan ilmu gabungan atau interdisipliner. Stilistika menggabungkan ilmu linguistik dengan ilmu sastra. Menurut Junus (1989: xvii), hakikat stilistika adalah studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra. Stilistika dipakai sebagai ilmu gabung, yakni linguistik dan ilmu sastra. Paling tidak, studi stilistika dilakukan oleh seorang linguis, tetapi menaruh perhatian terhadap sastra (atau sebaliknya). Dalam aplikasinya, seorang linguis bekerja dengan menggunakan data pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan melihat keistimewaan bahasa sastra. Dengan demikian, stilistika dapat dipahami sebagai aplikasi teori linguistik pada pemakaian bahasa dalam sastra.
Menurut Shipley, stilistika adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style berasal dari kata stilus (latin) yang semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Bagi mereka yang dapat menggunakan alat tersebut secara baik, disebut sebagai praktisi gaya bahasa yang sukses, sebaliknya, bagi mereka yang tidak dapat menggunakan dengan baik, disebut praktisi gaya yang kasar atau gagal. Benda runcing sebagai alat untuk menulis dapat diartikan bermacam-macam. Salah satu diantaranya adalah menggores, melukai, menembus, menusuk bidang datar sebagai alat tulisan. Konotasi lain adalah ”menggores” atau ”menusuk” perasaan pembaca, bahkan juga penulis sendiri sehingga menimbulkan efek tertentu. Pada dasarnya, di sinilah makna kata stilistika sehingga kemudian berarti gaya bahasa yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas.
Dalam bidang bahasa dan sastra, stilistika dikatakan sebagai bagian dari ilmu sastra, lebih sempit lagi, ilmu gaya bahasa dalam kaitannya dengan aspek-aspek keindahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gaya memiliki beberapa ciri, yaitu (a) kekuatan, kesanggupan, gaya dalam pengertian denotatif, misalnya gaya pegasm gaya lentur, gaya tarik bumi; (b) sikap, gerakan, seperti dalam tingkah laku, misalnya gaya tarik, gaya hidup; (c) irama, lagu, seperti dalam music, misalnya gaya musik Barat; (d) cara melakukan, seperti dalam olahraga, gaya renang, gaya dada; (e) ragam, cara, seperti dalam bangunan, seperti bagunan gaya Eropa; dan (g) cara yang khas, seperti pemakaian bahasa dalam karya sastra, misalnya gaya inversi.
Stilistika sebagai ilmu yang multidisipliner, telah didefinisikan beragam dan berbeda-beda oleh para ahli. Leech dan Short (1984:13) menyatakan bahwa stilistika adalah studi tentang wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Analisis stilistika karya sastra lazimnya untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Stilistika juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang digunakan dalam sastra memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana pengarang menggunakan tanda-tanda linguistik untuk mencapai efek khusus. Jadi, dapat dikatakan bahwa definisi ilmu stilistika ialah sebagai berikut.
a.       Ilmu tentang gaya bahasa.
b.      Ilmu interdisipliner antara linguistik dengan sastra.
c.       Ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa.
d.      Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra.
e.       Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya sekaligus latar belakang sosialnya.

2.    Sejarah Stilistika
Stilistika telah mulai dikenal pada masyarakat di Barat dan Indonesia. Sejak zaman Plato (427-317 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), sesungguhnya telah ada kajian linguistik tentang proses proaktif dalam kesusastraan. Zaman Plato dan Aristoteles mungkin terlalu jauh dari zaman kita. Pada 1916 telah terbit sebuah kata hasil kerjasama sastrawan dan bahasa berakhiran Formalisme Rusia dengan buku yang berjudul, The Study in Theory of Puitics Language. Pada tahun 1923, Roman Jakobsan menulis tentang puisi Ceko yang menerapkan kriteria semantik modern dalam pengkajian struktur dan pola puisi. Pada 1957, Chomsky membuka pandangan baru dalam linguistik dalam penerbitan bukunya Syntactic Structures. Kesusastraan merasakan dampak pandangan baru itu.
Pada awalnya, sastrawan dan kritikus sastra memfungsikan manfaat pengkajian linguistik terhadap karya sastra. Berbagai anggapan pengkajian demikian akan merusak keindahan seni karya sastra itu. Semakin lama semakin disadari bahwa pendekatan linguistik merupakan salah satu pendekatan yang dapat ditempuh untuk menemukan makna karya sastra. Analisis stilistika berupaya mengganti subjektif dan impresionisme yang digunakan kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah.
Pada 1973, terbit Stylistics, G.Tunner Harmsondworth, Penguin Books. Pada 1980, terbit buku Linguistics: for Students of Literatur A Stylistics Introduction of the study of Literatur Pergamo Fustitut of English, Oxford of Michael Cumming dan Robert Simon pada 1985, terbit Stylistics and Teaching of Literature. Di Malaysia, stilistika juga mengalami perkembangan. Pada 1966, Yunus telah banyak menulis makalah stilistika. Ia termasuk pakar stilistika, di samping Mohammad Yusuf Hasan dan Shahran Ahmad, makalah Yunus telah dibukukan dengan judul Dari Kata ke Ideologi: Fajar Bakti, Petalung Jaya 1985. Pada 1979, Mangantar Simanjuntak juga mulai membahas stilistika. Makalahnya berjudul Aplikasi Linguistik dalam Pengkajian dan Penulisan Karya Sastra. Ia menganalis teks sastra berdasarkan teori linguistik Transformatif Generatif. Pada saat yang sama Mana Si Kana (Keris Emas), menulis makalah Kaktus-Kaktus Kemasan Safe Pengandaan Stilistika.
Pada 1980, persatuan Linguistik Malaysia mengadakan seminar bahasa dan sastra. Pada 1982, makalahnya dibukukan dengan judul Stilistika Simposium Keindahan Bahasa yang disunting oleh Prof. Farid Onn. Penyumbang makalah adalah Prof. Farid Onn, Dr. Nik Safiah Karim, Awang Sariyah, Dr Mangantar Simanjuntak, Dr. Dahnil Adnani, Abdul Rahman Napiah, Hashim Awang, Prof. Kamal Hasan, dan Lutfi Abas. Pada 1985, jurusan Linguistik, jabatan pengkajian Melayu, Universiti Melayu telah mengadakan satu langkah yang dinamakan Bengkel Stilistik. Dalam bengkel ini, beberapa makalah membahas aspek stilistika atau gaya bahasa. Makalah-makalah telah diterbitkan dengan judul Stilistik: Pendekatan dan Penerapan. Pada 1989, Yunus menerbitkan bukunya berjudul Stilistik: Satu Pengantar yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian, Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur. Di dalamnya dibahas tentang: (1) Berbagai pemahaman tentang gaya; (2) Gaya sebagai Mekanisme Stilistik dan sebagai tanda. Buku ini merupakan hasil pergelutan selama 30 tahun semenjak ia berkenalan dengan istilah stilistik. Sejak itu, ia selalu berdialog dengan persoalan stilistika.
Di Indonesia, stilistika juga mengalami sejarah dan perkembangan. Pada tahun 1956, Slamet Mulyana menerbitkan buku Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Budaya, penerbit Ganaco, Bandung. Buku ini berisi sekalar pemandangan tentang Poesi juga biasa disebut Puitika. Pandangan Puitika tidak terlepas dari persoalan poetika pada hakikatnya adalah persoalan filsafat. Dengan demikian, peristiwa sastra dihubungkan dengan peristiwa Bahasa Indonesia. Hal ini ada hubungannya dengan pengajaran bahasa. Kekurangan penyelidikan bahasa dan sastra Indonesia terasa sekali oleh pengajar di sekolah, yaitu sifat pembelajaran tidak lagi merupakan perluasan, tetapi pendalaman. Bahasa Indonesia merupakan salah satu fenomena yang berhubungan adat dengan manusia Indonesia. Slamat Mulyana mendefinisikan stilistika adalah pengetahuan tentang kata yang berjiwa.
Istilah stilistika kemudian dikembangkan oleh Jassin. Ia menguraikan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya biasa orang menyebut gaya bahasa apa yang disebut Stijl dalam bahasa Belanda, Style dalam bahasa Ingggris dan Perancis, Stil dalam bahasa Jerman. Jassin selanjutnya mengemukakan bahwa kata gaya bahasa bermakna cara menggunakan bahasa. Di dalamnya tercakup gaya bercerita. Biasanya orang jika berbicara tentang stil seseorang pengarang yang dimaksud bukan saja gayanya dalam mempergunakan bahasa, melainkan juga gayanya bercerita. Seorang stilistikus atau ahli gaya bahasa menjawab pertanyaan mengapa seorang pembicara atau pengarang menyatakan pikiran dan perasaan seperti yang dilakukan dan tidak dalam bentuk lain, atau bagaimana keharmonisan gabungan isi dan bentuk.
Pada 1982, Sudjiman membuat Diktat Mata Kuliah Stilistika, Program S1. Universitas Indonesia. Kemudian Ia menerbitkan buku Bunga Rampai Stilistika. Grafiti, Jakarta 1993. Istilah stilistika sejak 1980-an ini mulai dikenal di dunia Pengetahuan Tinggi sebab telah menjadi satu disiplin ilmu. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan selama ini bahwa dalam usaha memahami karya sastra para kritikus sastra menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrisik, bahkan ada yang menggunakan beberapa pendekatan sekaligus. Semua itu ada hukum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang menciptakan karya tertulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara penyampaiannya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang terkandung dalam karya sastra serta menikmati keindahannya. Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau bagian-bagiannya untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini disebut pengkajian stilistika. Dalam pengkajian ini tampak relevansi linguistik atau ilmu bahasa terhadap studi sastra. Dengan stilistika, dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra.
Pada tahun 1986, Natawidjaja menerbitkan buku Apresiasi Stilistika, Intermasa, Yogyakarta. Dalam buku ini diuraikan penggunaan bahasa suatu karya sastra melalui aspek bahasa, misalnya peribahasa, ungkapan, dan gaya bahasa dalam karya sastra. Buku ini sangat bermanfaat bagi siswa SMA dan mahasiswa yang ingin meningkatkan pemahaman mengenai stilistika bahasa Indonesia. Di Universitas Gadjah Mada, penelitian skripsi sarjana juga membahas masalah stilistika. Hal ini sudah dilaksanakan sejak 1958 sampai dengan sekarang ini, misalnya Budi S telah membuat skripsi tentang ”Bahasa Danarto dalam Godlob: Kajian Stilistika Cerpen-cerpen Danarto”, 1990. Ia memberi penekanan analisis terhadap kosakata, majas (bahasa kiasan), sarana retorika, struktur sintesis, interaksi bahasa dan humor dari mantra (Puleh, 1994:X). Pada 1993, Lukman Hakim membahas stilistika judul makalahnya ”Tinjauan Stilistika terhadap Robohnya Surau Kami”, (AA. Navis). Ia membahas cerita pendek ini dari sisi gaya bahasa/stil, pengarangnya terutama yang berhubungan dengan (1) struktur kalimat yang dihubungkan dengan gaya bercerita; dan (2) pemilihan leksikal yang dikaitkan dengan pemakaian majas (Depdikbud, 1993:28-38, Bahasa dan Sastra, X.4).
Pada 1995, Aminuddin menerbitkan bukunya Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang Press, Semarang. Kajian stilistika dalam buku ini terdiri dari enam bab. Bab 1 mengenai Pengertian Gaya dalam Perspektif Kesejarahan; Bab 2 mengenai Studi Stilistika dalam Konteks Kajian Sastra; Bab 3 Bentuk Ekspresi sebagai Pangkal Kajian Stilistika; Bab 4 Aspek Bunyi dalam Teks Sastra; Bab 5 Bentuk Simbolik dalam Karya Sastra; dan Bab 6 Bentuk Bahasa Kias dalam Karya Sastra. Pada 2003, Tirto Suwondo membahas cerpen dengan pandangan stilistika, judul makalahnya ”Cerpen Dinding Waktu, karya Danarto, Studi Stilistika” dimuat dalam bukunya Studi Sastra Beberapa Alternatif, Hanindita, Yogyakarta, 2003. Suwondo berkesimpulan bahwa cerpen dinding waktu karya Danarto kaya akan gaya bahasa, baik gaya bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun berdasarkan langsung atau tidaknya makna. Dengan demikian, hingga saat sekarang ini, stilistika sudah berkembang dengan pesat.

3.    Objek Kajian Stilistika
Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa-bahasa yang bergaya dalam karya satra. Dalam hal mengkaji bahasa-bahasa yang bergaya tersebut, terdapat berbagai aspek yang dapat dikaji oleh stilistika, mulai dari intonasi, bunyi, kata, dan kalimat sehingga lahirlah gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata, dan gaya kalimat.
Ranah penelitian stilistika biasanya dibatasi pada teks tertentu. Pengkajian stilistika adalah meneliti gaya sebuah teks sastra secara rinci dengan sistematis memperhatikan preferensi penggunaan kata, struktur bahasa, mengamati antarhubungan pilihan kata untuk mengidentifikasikan ciri-ciri stilistika (stilistic features) yang membedakan pengarang (sastrawan) karya, tradisi, atau periode lainnya. Ciri ini dapat bersifat fonologi (pola bunyi bahasa, mantra dan rima), sintaksis (tipe struktur kalimat), leksikal (diksi, frekuensi penggunaan kelas kata tertentu) atau retoris (majas dan citraan). Apresiasi stilistika merupakan usaha memahami, menghayati, dan mengaplikasi gaya agar melahirkan efek artistik. Efek-efek tersebut akan tampak pada ekspresi individual pengarang. Adapun objek kajian stilistika yaitu pribahasa, ungkapan, aspek kalimat, gaya bahasa, plastik bahasa, dan kalimat asosiatif (Natawidjaya, 1986:5). Berikut akan dijelaskan satu per satu.
a.    Peribahasa
Peribahasa adalah kalimat yang memiliki efek konotatif yang digunakan dalam bentuk tulisan maupun percakapan. Terdapat enam jenis peribahasa, yaitu sebagai berikut.
1)   Bidal Bahasa
Bidal bahasa ialah peribahasa sebagai pemanis percakapan atau kalimat dalam tulisan. Misalnya,
Angin bertiup sepoi-sepoi basah.
Artinya, demikian lembutnya seperti yang selalu dikatakan orang.

Beban sudah di pintu.
Artinya, segala sesuatu yang telah patut. Anak perempuan dewasa patut dipersuamikan. Warisan yang sudah patut dibagi. Hidangan yang sudah patut dimakan.

Telaga di bawah gunung.
Artinya, seorang istri yang baik nasibnya, membawa rezeki.
2)   Pepatah
Pepatah sering juga disebut dengan pematah. Pepatah berisi kecaman, sanggahan atau petuah. Pepatah termasuk peribahasa yang digunakan dalam percakapan untuk mematahkan perkataan lawan bicara sehingga ia berhenti atau memahami, dan menyadari kesalahannya. Misalnya,
Ada sepanjang jalan, cupak sepanjang betung.
Artinya, segala sesuatu pekerjaan ada aturannya. Dalam setiap pergaulan, ada etiketnya. Laki-laki atau perempuan mempunyai cara-cara tersendiri menurut kodratnya.

Menjilat air liur.
Artinya, yang sudah dibuang dan dihinakan, dimuliakan kembali.

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan.
Artinya, kasih seorang ibu tak pernah putus dan selalu abadi, kasih anak kadang-kadang sangat sedikit.

Kacang lupa pada kulit.
Artinya, orang yang tidak sadar pada asalnya.

3)   Amsal
Amsal berasal dari bahasa Arab, yaitu sama dengan perumpamaan. Amsal ialah peribahasa yang memiliki susunan kata yang mengandung asosiasi, yang bersifat sama dengan yang dimaksud. Isi amsal bisa berupa petatah atau petitih. Di depan susunan amsal, sering didahului kata umpama, bagai, bak, atau seperti. Misalnya,
Bagai air di daun talas.
Artinya, orang yang tidak tetap pendiriannya.

Seperti rusa masuk kampung.
Artinya, perihal orang yang tercengang-cengang melihat keindahan.

Bagai tokak lekat di kening.
Artinya, rasa malu yang tidak dapat disembunyikan.

Bagai air dengan tebing.
Artinya, sepasang suami istri yang saling sayang menyayangi.

4)   Petitih
Petitih ialah peribahasa yang mengandung nasihat atau pelajaran tentang kehidupan manusia. Petitih ini sering juga disebut dengan hadis melayu. Kebanyakan susunan petitih terdiri dari dua bagian, seperti bentuk gurindam. Kalimat yang pertama berisi sebab dan kalimat kedua berisi akibat. Misalnya,

Mumbang jatuh, kelapa jatuh.
Artinya, setiap makhluk hidup akan mengalami kematian.

Datang nampak muka, pergi Nampak punggung.
Artinya, dating dengan baik, pergi pun harus dengan baik.

Perang bermalaikat, sabung berjuara.
Artinya, janganlah kita terkabur, segala penderitaan, permainan, Tuhan jualah yang menentukan.

Ibarat ayam pungguk, segan mencakar, rajin mematuk.
Artinya, hal orang yang duduk-duduk saja di rumah, tapi ia segan mencari nafkah.

5)   Kalimat Bersayap
Kalimat bersayap disebut juga kata-kata mutiara. Kalimat bersayap ialah susunan kata yang mengandung firman, falsafah, pepatah, atau petitih. Kalimat bersayap diucapkan oleh pujangga, rasul, nabi, atau filsuf. Prinsip arti materinya terdapat dalam susunan kalimtanya, sedangkan arti konotatifnya, diciptakan melalui usaha tafsiran. Misalnya,

Biar kamu rahasiakan perkataan kamu, maupun kamu nyatakan, sesungguhnya Allah itu mengetahui segala isi hati manusia. (Al-Qur’an, surat Al Muluk ayat 13).

Kebenaran itu dalam sekali letaknya, tidak terjangkau semuanya oleh manusia. (Democritus).

Hanya yang ada itu ada, yang tiada itu tidak. (Permenides).

Semuanya itu air. Semuanya itu satu. (Thales).

b.   Ungkapan
Ungkapan ialah hasil pemencilan dua buah kata atau lebih untuk menyatakan suatu maksud yang mempunyai asumsi, berkias, atau berkonotasi. Ungkapan bisa berbentuk kata majemuk atau kelompok kata. Melihat dari frekuensi pemakaiannya, ungkapan lebih banyak digunakan dalam bahasa sehari-hari, maupun karangan, jika dibandingkan dengan pemakaian peribahasa. Hal ini dimungkinkan oleh bentuk ungkapan yang pendek dan mudah diingat. Bagian ungkapan terdiri dari unsur inti dan unsur penjelas. Unsure inti adalah unsure yan diterangkan dan unsure penjelas ialah unsure yang menerangkan. Sifat ungkapan bahasa Indonesia ialah menurut hokum DM (Diterangkan Menerangkan). Misalnya,
mencari muka – melakukan sesuatu yang baik agar mendapat perhatian
berdahi sempit – berpikiran pendek, pesimistis, kuatir akan hari esok
menutup mata – mati, meninggal, wafat, tutup usia
buah bibir – diceritakan orang karena kebaikannya
makan tangan – mendapat untung, laris dagangannya
kabar angin – desas desus
anak emas – orang yang paling dikasihi

c.    Aspek Kalimat
Aspek ialah segi pandangan dari sudut mana kita melihat sebuah kalimat sehingga kita memperoleh pengertian yang khas dari maksud kalimat tersebut. Terdapat beberapa jenis aspek kalimat yaitu sebagai berikut.
1)   Aspek Inkhoatif (Inchoative Aspect, Sudut Mula Kerja)
Dalam aspek inkhoatif, sudut pandangan terletak pada proses suksesif (berurutan), tetapi tidak merupakan sebab akibat dan kejadian atau peristiwa itu selalu didahului oleh perbuatan pertamanya. Misalnya, sesudah puas melihat pameran itu, kami pun pulang. 
2)   Aspek Duratif (Durative Aspect, Sudut Terikat Waktu)
Titik perhatiab aspek duratif terletak saat berlakunya peristiwa, kejadian, atau perbuatan yang terikat oleh waktu. Jadi, sifatnya sementara. Misalnya, saya pinjam sebentar saja.
3)   Aspek Resultatif (Resultative Aspect, Sudut Kesimpulan)
Aspek resultatif terdapat dalam kalimat yang mempunyai sebab akibat. Kalimat kedua merupakan perkembangan kalimat pertama. Jadi, terdapat hubungan kait-mengait. Misalnya, karena terlambat satu menit, saya ketinggalan kereta.
4)   Aspek Progesif (Progressive Aspect, Sudut Urutan Maju)
Aspek progresif dapat dilihat dari urutan kejadiannya yang kronologis dan sedang berlangsung. Misalnya, kemarin ia kehujanan, sekarang ia sakit.
5)   Aspek Frekuentatif (Frequentative Aspect, Sudut Kerap Tidaknya)
Frekuentatif artinya kerap atau jarang sesuatu kejadian atau peristiwa itu timbul atau terjadi. Misalnya, sekali-sekali nampak motor hitam lewat, remang-remang saja bentuknya.
6)   Aspek Hipotesis (Hypothesis Aspect, Sudut Kemungkinan)
Hipotesis ialah sesuatu yang dianggap benar, yakni proses kejadian yang telah lampau atau yang akan datang berdasarkan tanggapan hokum-hukum atau bukti-bukti yang berlaku sekarang. Prosesnya mengandung kecendekiaan. Sifatnya indetorminatif. Tidak terikat oleh waktu. Karena itu, hasilnya dapat positif atau negative. Misalnya, nanti, engkau akan disambut dengan meriah.
7)   Aspek Habituatif (Habituative Aspect, Sudut Kebiasaan)
Titik perhatian aspek habituatif ialah perbuatan/kelakuan atau peristiwa berlaku atau terjadi dengan perulangan yang tetap. Dalam kalimat seharu-hari, ditandai oleh kata tugas, yaitu setiap, selalu, tiap-tiap, biasa, dan lain-lain. Misalnya, ia selalu ingat padaku.
8)   Aspek Komparatif (Comparative Aspect, Sudut Perbandingan)
Untuk mengimajinasikan sesuatu hal, kita bisa membandingkan dengan benda yang bersifat sama. Misalnya, setelah bersujud untuk kedua kalinya, pemuda kita mengundurkan diri dengan perasaan seakan-akan baru lulus ujian berat.
9)   Aspek Realis (Realist Aspect, Sudut Kenyataan)
Realis ialah bersifat kenyataan. Jadi, aspek realis meninjau suatu kejadian atau peristiwa ataupun perbuatan dari sedang berlangsungnya atau sudah berlangsungnya. Sifatnya nyata. Misalnya, ia membaca buku di perpustakaan tiga jam yang lalu.
10)    Aspek Arealis (Arealist Aspect, Sudut Belum Nyata)
     Aspek arealis merupakan kebalikan dari aspek realis. Arealis artinya belum nyata, belum terbukti, atau akan terjadi. Misalnya, seandainya saja Afif mencintaiku seperti aku mencintainya, aku pasti akan sangat bahagia.

d.   Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah pernyataan dengan pola tertentu sehingga mempunyai efek tersendiri terhadap pemerhati. Dengan pola materi, akan menimbukan efek lahiriah (efek bentuk), sedangkan dengan pola arti (pola makna) akan menimbulkan efek rohaniah. Terdapat berbagai jenis gaya bahasa. Jenis-jenis tersebut dikelompokkan dalam empat kelompok besar, yaitu gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.

e.    Nilai Kata
Nilai kata ialah nilai rasa kata yang menimbulkan pengertian khusus dan bersifat gaya bahasa trofen atau metonimia. Misalnya,
Nilai rendah                           nilai tinggi
(bahasa umum)                      (bahasa sastra)

patah semangat                       rapuh
badan                                      tubuh
serapah                                    kutuk
gudang padi                            lumbung
jarang                                      langka
perempuan muda                     dara
mati                                         gugur, tutup usia, terbang nyawanya
selesai                                      rampung


f.     Plastik Bahasa
Plastik bahasa ialah kalimat penulis yang emosional dalam menggambarkan sesuatu hal sehingga menimbulkan gambaran yang jelas. Sifatnya subjektif. Plastic bahasa atau liris prosa ini sebagai hasil ekspresi individual spesifik penulis pada setiap jenis karangannya. Plastic bahasa menimbulkan gambaran dalam pikiran karena terdapat, yaitu (a) penonjolan pokok pikiran, (b) retorika, (c) pemunculan bahasa daerah atau bahasa asing untuk memperjelas, (d) asosiatif, dan (e) bersifat siaran pandangan mata.

g.    Kalimat Asosiatif
Kalimat asosiatif mengandung tiga pengertian pokok yaitu sebagai berikut. Pertama, kalimat asosiatif merupakan kalimat konotatif karena pokok pikiran merupakan lambang dari ekspresi individual. Kedua, kalimat asosiatif ialah kalimat yang mengandung kata-kata terlarang atau pamali bagi sebagian besar orang Indonesia. Ketiga, kalimat asosiatif adalah kalimat yang pokok pikiran atan objeknya mengandung kepercayaan atau tabu. Misalnya,

melati
– kesucian, gadis cantik
warna merah – keberanian                             kalimat asosiatif I
warna hitam – kesedihan atau ketuhanan
Bentuk Kata              Tabu Bagi Daerah

membujang     --         Tapanuli
kancing            --         Minangkabau
butuh                --         Palembang, Pontianak             kalimat asosiatif II
momok             --         Jawa Barat (Pasundan)

Nama Binatang         Nama Penghindar Tabu       Daerah


harimau           --          datuk                                       Sumatera
                        mbah, aden-aden                     Jawa Barat                           kalimat
                        kiyai                                        Jawa Tengah                        asosiatif III
kucing             --          enyeng                                     Sumedang
           

4.        Tujuan Stilistika
Stilistika dapat ditujukan terhadap berbagai penggunaan bahasa, tidak terbatas pada sastra. Namun, biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Tedapat berbagai tujuan stilistika, yaitu sebagai berikut. Pertama, menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Kedua, menentukan dan memperlihatkan penggunaan bahasa sastrawan, khusus penyimpangan dan penggunaan linguistik untuk memperoleh efek khusus. Ketiga, menjawab pertanyaan mengapa sastrawan mengekspresikan dirinya justru memilih cara khusus? Bagaimanakah efek estetis yang dapat dicapai melalui bahasa? Apakah pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu dapat menimbulkan efek estetis? Apakah fungsi penggunaan bentuk tertentu mendukung tujuan estetis? Keempat, mengganti kritik sastra yang bersifat subyektif dan impresif dengan analisis. Stil wacana sastra yang lebih obyektif dan ilmiah. Kelima, menggambarkan karakteristik khusus sebuah karya sastra. Keenam, mengkaji pelbagai bentuk gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan dalam karyanya.

5.        Manfaat Stilistika
Berbagai manfaat diperoleh dari stilistika bagi pembaca sastra, guru sastra, kritikus sastra, dan sastrawan. Manfaat menelaah stilistika ialah sebagai berikut.
a.       Mendapatkan atau membuktikan ciri-ciri keindahan bahasa yang universal dari segi bahasa dalam karya sastra lebih.
b.      Menerangkan secara baik keindahan sastra dengan menunjukkan keselarasan penggunaan ciri-ciri keindahan bahasa dalam karya sastra.
c.       Membimbing pembaca menikmati karya sastra dengan baik.
d.      Membimbing sastrawan memperbaiki atau meninggikan mutu karya sastranya.
e.       Kemampuan membedakan bahasa yang digunakan dalam satu karya sastra dengan karya sastra yang lain.

B.  Daftar Rujukan

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Atmazaki. 2005. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Citra Budaya Indonesia.
Junus, Umar. 1989. Stilistik: Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Natawidjaja, P. Suparman. 1986. Apresiasi Stilistika. Jakarta: Intermasa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, M. Atar. 2008. Stilistika Sastra. Padang: UNP Press.
Sudjiman Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistik. Jakarta: Grafiti.